Rabu, 13 April 2011

Pergeseran Nilai Kebudayaan Akibat Teknologi Informasi

Pergeseran Nilai Kebudayaan Akibat Teknologi Informasi

Anto baru saja pindah dari suatu desa A ke suatu kota B karena ayahnya dipindahtugaskan. Disana ia berkenalan dengan seorang anak bernama Marcell. Terjadilah sebuah percakapan di antara mereka

Anto : eh kamu pernah main gobag sodor, dakon, nekeran ga?
Marcell : haahhh??!!? apaan tuh,itu mainan? kagak ngerti gue, gue sih mainannya PS, Game Online.

***
Fenomena tersebut sepertinya lazim di era modern seperti saat ini. Saat ini anak-anak lebih cenderung untuk bermain mainan seperti PS atau disebut dengan mainan modern. Mainan seperti gobag sodor, dakon, nekeran atau biasa disebut mainan tradisional sudah sangat jarang ditemukan. Sebetulnya mainan seperti apa yang bagus untuk anak?Apakah mainan modern atau tradisional.

Mainan tradisional pada dasarnya lebih membentuk anak dalam kemampuan motoriknya baik halus maupun kasar. Hal ini dikarenakan dalam memainkan mainan tradisional seperti dakon, anak dituntut untuk memegang biji secara utuh sembari meletakkannya satu-satu di kotakkannya dengan satu tangan. Motorik halus lebih digunakan dalam permainan ini. Lain halnya dengan permainan petak umpet, kemampuan motorik kasar anak lebih diasah.
Mainan tradisional juga dapat melatih kemampuan sosial anak, karena pada umumnya permainan tradisional adalah permainan yang membutuhkan lebih dari satu pemain. Kemampuan sosial anak dengan teman-temannya sangat diasah, bagaimana emosi anak, bagaimana kemampuan anak untuk berempati dengan teman, kejujuran, kesabaran sangat dituntut dalam mainan tradisional.

Bagaimana dengan mainan modern seperti PlayStation sendiri? Mainan modern lebih mengasah anak dalam hal mengatur strategi, bagaimana anak menyusun suatu siasat agar tujuan/goal dari mainan tersebut tercapai sehingga sang anak menjadi juara.Kelebihan dari mainan ini selain kemampuan mengatur strategi, kemampuan koordinasi alat gerak dengan alat indra anak terasah. Selain itu beberapa orang percaya bahwa mainan ini mampu meningkatkan rentang perhatian dan konsentrasi anak. Namun kemampuan sosial anak tidak terlalu dipentingkan dalam mainan modern ini, malah cenderung diabaikan karena pada umumnya mainan modern berbentuk mainan individual dimana anak dapat bermain sendiri tanpa kehadiran teman-temannya, kalaupun main berdua kemampuan interaksi anak dengan temannya tidak terlalu terlihat. Pada dasarnya sang anak terfokus pada permainan yang ada di hadapannya. Mainan modern cenderung bersifat agresif, sehingga tidak mustahil anak bersifat agresif karena pengaruh dari mainan ini.
Bermain mainan tradisional pada dasarnya lebih baik dibandingkan dengan mainan modern, namun menimbang efek positif dan negatif yang dimiliki mainan modern bukan berarti anak tidak diperbolehkan memainkan mainan modern. Bimbingan orang tua sangat diperlukan dalam memainkan jenis mainan modern ini untuk menyeimbangkan efek negatif yang dimiliki mainan modern.

Sumber : http://restryarea23.blogspot.com/2010/01/mainan-tradisional-vs-mainan-modern.html

Tari Gandrung

Seni Tari Gandrung merupakan salah satu seni tari tradisional yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.

Gandrung Banyuwangi berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Tarian ini masih satu generasi dengan tarian seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Cilacap dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yakni melibatkan seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan.

Tarian ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung, dan anda akan menjumpai patung penari Gandrung di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, dan tak ayal lagi Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung.

Tari Gandrung ini sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya.

Tari Gandrung memiliki ciri khas , mereka menari dengan kipas dan ketika penari menyentuh kipasnya kepada salah satu penonton biasanya laki – laki dan di ajak untuk menari. Keberadaan Tari Gandrung sangat erat kaitannya dengan tari Seblang. Hal itu dapat dilihat dari seni gerak tari maupun unsur-unsur tari yang lain, seperti: nyanyian dan alat musik yang digunakan. Hal yang membedakan dengan Tari Seblang adalah sifatnya, Tari Seblang merupakan suatu tarian yang bersifat sakral yang selalu ditandai adanya trance atau kerasukan bagi penarinya, sedangkan Tari Gandrung bersifat sebagai hiburan atau tari pergaulan.

Tari Gandrung dalam pementasannya didukung oleh berbagai unsur, yaitu penari, pemusik, alat musik, nyanyian, gerak tari, dan arena atau panggung. Masing-masing unsur mempunyai tugas dan peranannya sendiri-sendiri. Selain itu dalam pementasan juga didukung oleh pemaju, yaitu penonton yang menari bersama penari Gandrung. Setiap penonton mempunyai kesempatan untuk menari bersama Gandrung.

Sebagai suatu hasil kebudayaan, Tari Gandrung mengalami perkembangan. Perkembangan terjadi tidak secara revolusioner. Perubahan atau perkembangan terdapat dalam busana atau pakaian. Pada mulanya busana yang dipakai sangat sederhana, di antaranya mahkota yang dipakai hanya terbuat dari dedaunan. Kondisi pakaian penari Gandrung sekarang sudah sangat berbeda, semua pakaian dibuat seindah mungkin.

Peranan Tari Gandrung sebagai tari pergaulan pada masa kini digunakan dalam berbagai kesempatan. Dalam pesta hajatan masyarakat setempat, Tari Gandrung selalu dipentaskan. Hal ini erat kaitannya dengan kepentingan dari pemilik hajatan. Tari Gandrung dijadikan media untuk mencari sumbangan dari para tamu.

Tari Gandrung dewasa ini mendapat perhatian yang besar dari Departemen Pendidikan Nasional. Di sekolah-sekolah diadakan kegiatan ekstrakurikuler Tari Gandrung. Upaya ini tidak lain untuk melestarikan dan mewariskan Tari Gandrung kepada generasi muda.

Tari gandrung biasa disebut denga kesenian tari dari daerah Banyuwangi.
Kebanyakan Tarian gandrung dapat diartikan kebebanyakan oleh penari sebagai panggilan jiwa yang menari.


TATA BUSANA TARI GANDRUNG

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.

1. Bagian Kepala

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

2. Bagian Tubuh

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

3. Bagian Bawah

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

4. Lain-lain

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

TAHAPAN TARI GANDRUNG

Dalam tari gandrung terdapat beberapa tahapan yaitu :

a) Jejer

Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

b) Maju

Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

c) Seblang subuh

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.

Namun pada saat ini tarian gandrung telah jarang dimainkan, saat ini banyak didirikan organisasi untuk belajar tari yang lebih modern dan terarah. mungkin ini faktor dari lingkungan lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk lebih tertarik terhadap budaya asing yang di anggap lebih modern bukan budaya negeri sendiri yang sudah di lestarikan sudah sejak dahulu, Oleh sebab itu juga tarian tersebut jarang ada yang mengenalnya.

Maka dari itu mari kita semua melestarikan Budaya Indonesia ini. Jangan sampai ketika budaya kita d klaim oleh negara lain barulah kita sadar bahwa itu adalah kebudayaan Indonesia .

untuk melestarikannya Kita dapat belajar melalui dua jalur, yaitu jalur tradisional dan jalur akademis. Misalnya di jalur tradisional kita dapat mendirikan sanggar – sanggar agar dapat mengajarkan tentang tarian – tarian Indonesia kepada anak-anak sebagai penerus bangsa. di dalam jalur akademis , perlu ada penyuluhan ke sekolah-sekolah yang ada , terutama yang masih jenjang kecil (SD) karena jika kita pupuk saat dini Tarian ini tak akan lekang di makan waktu .


sumber: http://achmadsaugi.wordpress.com/2009/12/11/tari-gandrung/

Manusia dan Harapan

Harapan Mayarakat pada Polisi

Profesionalisme adalah jawaban atas fenomena akhir akhir ini yang menimpa Polri. Walaupun begitu profesionalisme yang harus kita tunjukan bukanlah sekedar profesionalisme jadul. Perubahan sosial telah memaksa Polri untuk mensinkronkan profesioalismenya pada harapan masyarakat. Nah, harapan atau keinginan masyarakat tersebut diurai dibawah ini.

Community Expected

Dalam memahami apa yang menjadi keinginan masyarakat, ada baiknya Polisi meminjam istilah didalam bisnis marketing. Bagaimanapun juga polisi hakekatnya adalah suatu institusi yang harus memuaskan pelangannya yaitu masyarakat.

Harapan pelanggan adalah sesuatu yang diinginkan akan didapat oleh pelanggan. Harapan pelanggan adalah kepercayaan tentang pemberian pelayanan yang berfungsi sebagai tolok ukur atas kualitas pelayanan. Karena pelanggan membandingkan persepsi atas pelayanan yang diterima, dengan tolok ukur tadi maka penting bagi polisi untuk memahami benar apa harapan masyarakatnya.

Harapan akan pelayanan yang akan diterima (expeted service) mengandung dua hal. Pertama adalah apa yang pelanggan percayai akan terjadi pada saat layanan dismpaikan. Kedua adalah apa yang pelangga inginkan akan terjadi. Bila yang pertama mengandung arti suatu dugaan pelayanan yang akan diterima atau apa yang diyakini pelanggan akan terjdi pada saat pelayanan, yang kedua lebih kepada apa yang diinginkan pelanggan agar terjadi. (Mona sakaria, diambil dari majalah forum edisi 60, 1995:1)

Jadi masyarakat akan puas ketika pelayanan yang diberikan polisi berkesesuaian dengan harapannya. Harapan masyarakat melingkupi dua hal, harapan akan penyediaan hasil teknis dan bagaimana hasil teknis tersebut disajikan (Valeria, 1985: 2). Dengan kata lain, masyarakat mempunyai harapan terhadap kualitas hasil teknis dan kualitas proses (Process and Techical Outcome Quality).

Kedua aspek diatas tidak dapat diabaikan atau dipentingkan satu dengan yang lain. Keduanya saling terkait dan saling menguatkan atau memperlemah terhadap kepuasan masyarakat. Keduanya harus dilakukan sebaik mungkin sesuai harapan masyarakat. Walaupun begitu dalam konteks Polri perlu diprioritaskan aspek proses. Mengapa harus proses?.

Polri hakekatnya adalah memberikan jasa ketimbang produk barang kepada masyarakat. Oleh karena yang diberikan polisi berbentuk intangible maka terlalu merepotkan untuk mengukur harapan teknis masyarakat tersebut. Disamping itu Polri dengan segala keterbatasannya akan sulit memuaskan masyarakatnya dengan menitik beratkan pemenuhan harapan hasil teknis. Akan lebih bijak Polri lebih memperhatikan proses pemberian pelayanan kepada masyarakat. Walaupun begitu sekali lagi, hal ini bukan berarti aspek kualitas hasil teknis tidak diperhatikan.

Salah satu kelompok didalam masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan Polisi secara langsung adalah korban kejahatan (victim). Mereka adalah pihak yang merasa dirugikan langsun oleh para offender. Merekalah pihak yang paling banyak berharap akan pelayanan polisi. Oleh karena itulah dalam makalah ini akan difokuskan kepada harapan korban kejahatan akan pelayanan polisi.

Victim of Crime

Korban kejahatan adalah seseorang atau entitas yang menderita karena perbuatan melwan hukum atau illegal. Korban yang mengalami secara langsung (Direct Victim Experiences) adalah korban yang mengalami secara langsung akibat perbuatan melawan hukum tersebut. Disamping itu terdapat juga Indirect Victim Experience yaitu korban yang juga terkena dampak kerugian tetapi tidak terlibat secara langsung (Lydia, 1994:1).

Larry Siegel mengkategorikan berdasarkan empat jenis kejahatan yaitu korban kejahatan kekerasan (Violance Crime), kejahatan harta benda (Property Crime), kejahatan kerah putih (White Collar Crime) dan kejahatan terhadap ketertiban umum (Public Order Crime) (Larry, 2000:318).

Setelah mengalami viktimisasi, korban akan merasakan akibat yang umum terjadi pada korban kejahatan. Korban merasakan bahwa dirinya lemah, menjadi pecundang dan rentan menjadi korban (Vurnerable). Selain itu korban juga mempunyai perasaan akan menjadi korban lagi, rasa takut dan merasa tidak punya kekuatan untuk mengelaknya (Lydia, 1994: 116). Setelah korban kejahatan memutuskan untuk melaporkan viktimisasi yang menimpanya kepada polisi, tentu mempunyai harapan. Harapan tersebut berkait dengan hasil teknis dan proses pelayanannya.

Harapan terhadap hasil teknis mencakup tiga hal, yaitu hukuman setimpal bagi pelaku, perawatan (rehabilitasi) baik bagi korban senidri atau pelaku, dan restitusi atau kompensasi kepada korban. Ketiganya tidak harus altenatif tetapi juga mungkin komulatif kombinasi ketiganya.

Harapan Korban Terhadap Hasil Teknis

Harapan pertama adalah justifikasi Retributif Deterent. Harapan korban melaporkan kasusnya kepolisi agar pelaku segera tertangkap dan dihukum seberat beratnya. Yang mendasari harapan ini adalah justifikasi retributif. Perasaan telah disakiti dan dirugikan membuat korban merasa ingin balas dendam kepada pelaku. Perasaan ini dianggap dapat mengobati sakti hati daripada korban. Pembalasan dendam kepada pelaku harus setimpal sebesar kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. Di jaman dulu terdapat hukum hamurabi. Yaitu Lex Talioni atau eye for eye. Artinya seseorang yang merugikan orang lain harus dibalas sama dengan kerugian yang diakibatkan. Dengan pembalasan tersebut maka tatanan moral dianggap telah diperbaiki.

Harapan akan tertangkapnya pelaku oleh polisi selain dilandasi dengan rasa ingin balas dendam, terdapat juga maksud untuk membuat jera. Justifikasi dari harapan tersebut dikenal dengan justifikasi deterent. Yaitu sertiap hukuman yang dilakukankepada pelaku harus bertujuan. Tujuan dihukum berat sipelaku adalah agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya (special deterent). Selain itu diharapkan juga orang lain yang melihatnya tidak mencontoh perbuatan pelaku (general deterent).

Harapan kedua adalah rehabilitasi pelaku dan korban. Korban berharap dengan melapor ke polisi, kepolisian akan melakukan rehabilitasi dan penyembuhan bagi si pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Harapan ini biasanya ditujukan bila pelaku bukan orang asing, kemungkinan pelaku adalah kekasih, pasangan hidup, anak, tetangga atau teman sekolah. Rehabilitasi yang diharapkan dapat berbentuk konseling, perwatan jiwa atau disekolahkan disiplin. Dengan rehabilitasi diharapkan pelaku dapat kembali menjadi orang yang patuh pada hukum dan tidak mengulangi perbuatannya. Informan tidak berharap untuk membalas denda. Korban justru ingin pelaku diperhatikan dan dibina agar menjadi orang yang patuh hukum.

Dalam suatu penelitian ditemukan juga korban yang menginginkan rehabilitasi pelaku. Alasan informan adalah karena pelaku bukan orang asing dan tidak tega bila melihat tersangka dipenjara. Atau bisa juga korban melihat bahwa pelaku sebenarnya orang baik dan hanya sedang lupa diri hingga melakukan kegiatan ilegal.

Selain perawatan tehadap pelaku, korban terkadang juga berharap polisi mau merawat dirinya yang telah terviktimisasi. Setelah seseorang mengalami viktimisasi terdapat berbagai konsekwensi akibat yang biasanya akan menyertainya. Akibat yang umum terjadi pada korban kejahatan adalah perasaan merasa lemah, menjadi pencundang dan rentan menjadi korban. Khusus untuk korban kejahatan kekerasan maka efek traumatiknya jauh lebih besar. Antara lain yang sering timbul adalah terjadinya Emotional Effect of Crime: Posrttraumatic Stress Disorder. Korban akan merasa takut, shok, marah, dicampakkan, merasa bersalah, merasa dilecehkan. Akibatnya korban akan mengalami susah tidur, terdapat perubahan pola makan dan kehidupan sosial lainnya. Akibat yang paling fatal adalah terjadinya depresi yang sangat dalam dan bisa jadi berakhir dengan tindakan self destructive.

Oleh karena itulah maka beberapa korban merasa perlu mendapat bantuan dari polisi sebagai seorang profesional dan mampu untuk menyediakan terapi bagi korban. Tanpa bantuan tersebut maka ia akan terus menderita dan merugikan bagi dirinya sendiri. Harapan korban, polisi dapat melayaninya dengan melakukan rehabilitasi dirinya atau minimal mencarikan bantuan ahli dan profesional untuk membantu korban kembali menjadi “normal”. Contoh pada kasus perkosaan kebanyakan hal utama yang diharapkan adalah polisi segera melindunginya dan merawat dirinya. Korban perkosaan adalah salah satu korban yang mengalami trauma psikologis mendalam. Korban merasa tidak termanusiakan dan diabaikan serta rasa takut yang sangat akan menjadi korban lagi, secara sosial korban perkosaan akan mengalami viktimisasi tambahan. Perasaan malu menghadapi teman, tetangga, sanak keluarga akan menambah beban berat bagi korban. Bahkan untuk konteks di Indonesia arti sebuah kehormatan bagi wanita sangat tinggi maka korban menjadi lebih menderita. Untuk itulah korban dan keluarganya meminta bantuan polisi agar dapat merawat dan melakukan rehabilitasi korban. Oleh karena itulah seorang polisi profesional harus memahami hal tersebut dan melakukan pendekatan yang tepat bagi korban.

Harapan ketiga adalah restitusi atau kompensasi. Harapan korban dengan melaporkan kasusnya kepolisi adalah kembalinya kerugian yang dialaminya akibat viktimisai tersebut. Walaupun ganti rugi berupa uang tidak mungkin dapat menghapuskan dan memperbaiki keadaan yang ditimbulkan oleh pelaku tetapi paling tidak korban sedikit terobati dengan adanya ganti rugi berupa materi. Dengan ganti rugi tersebut diharapkan merupakan tahap awal recovery. Korban telah mendertia akibat kehilangan uang, kehilangan barang miliknya atau telah mengalami luka serius yang membutuhkan penanganan medis yang membutuhkan biaya dan lain-lain. Untuk mengatasinya korban berharap pelaku mengganti atau mengembalikan kerugian yang dialami korban (restitution).

Cara lain adalah meminta pihak ketiga yang bertanggung jawab terhadap viktimisasi tersebut melakukan pembayaran kerugian. Pihak yang bertanggung jawab bisa negara (Compensastion) atau perusahaan (insurance coverage).

Dalam konteks tersebut polisi profesional bertugas untuk membantu semaksimal mungkin pengajuan klaim tersebut. Seperti diketahui pengajuan klaim asuransi mempersyaratkan adanya surat keterangan dan BAP dari kepolisian. Akan sangat tidak profesional bila polisi justru memanfaatkannya untuk meminta imbalan jasa atas pekerjaan profesinya.

Permasalahannya adalah tidak semua korban mengasuransikan dan tidak semua kasus berhasil diungkap sehingga barang barang korban belum tentu dapat dikembalikan kekorban. Karena hal tersebut maka harapan satu satunya korban adalah pemerintah atau negara mau mengganti kerugian tersebut. Beberapa korban hanya berharap kembalinya hartanya, tetapi bila harta tersebut tidak bisa dikembalikan oleh pelaku, maka korban berharap polisi dapat menekan pelaku untuk membayar ganti rugi. Pembayaran ganti rugi dari pelaku ke korban menandakan bahwa konsep restitusi telah menjadi harapan baru bagi korban. Oleh karena itulah maka profesionalisme polisi diperlihatkan dengan mengakomodir harapan tersebut dan tidak melulu harus menSistem Peradilan Pidanakan setiap kasus yang masuk. Bila antara korban dan pelaku sudah ada kesepakatan ganti rugi dan hubungan keduanya telah diperbaiki karena kesepakan tersebut maka polisi profesional harus berani mengeterapkan diskresinya.

Harapan Korban Terhadap Proses Pelayanan

Dalam konteks pelayanan yang diberikan oleh Polri maka pelayanan akan proses quality menjadi sangat penting. Hal itu disebabkan karana technical outcome yang diharapkan tidak selamanya berhasil dicapai. Hal tersebut dikarenakan banyak faktor yang berperan disamping adanya berbagai kekurangan dan kelemahan baik intern Polri maupun eksternal, karena itulah hasil akhir sukar dipastikan.

Untuk mengetahui bagaimana harapan harapan korban kejahatan tehadap kualitas proses tersebut, dapat dilihat berdasarkan harapan terhadap masing-masing dimensi. Dalam kualitas tersebut, korban akan melihatnya dari berbagai dimensi yaitu tangible, reliability, responciveness, assurance, empathy (Valeria, 1985: 25).

Dimensi Tangible

Dimensi Tangible adalah dimensi yang mewakili pelayanan yang bersifat fisik. Tangibel didefinisikan sebagai pelayanan dengan wujud berupa fasilias bangunan/gedung, fasilitas fisik, peralatan dan perlengkapan dan penampilan fisik personel.

Setelah seseorang mengalami viktimisasi terdapat berbagai konsekwensi akibat yang menyertainya. Oleh karena itulah maka korban mempunyai kebutuhan personal adanya suatu pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Contoh pemenuhan harapan korban terhadap dimensi tangible adalah aspek ruangan. dengan ruangan yang lebih luas, bersih dan nyaman maka korban dapat dengan tenang selama menunggu atau sedang diterima laporannya oleh petugas. Untuk membuat nyaman ruangan juga diharapkan dilengkapi dengan air conditioning, televisi, dan minuman mineral. Ruangan yang lebih luas juga memungkinkan orang-orang yang ikut mengantarkan korban dapat masuk kedalam. Dengan didampingi saudara dan kerabatnya maka secara mental dan psikologi korban akan lebih nyaman dan tenteram. Suasana tersebut akan mengurangi ketakutan dan trauma korban.

Selain aspek ruangan terdapa pula beberapa aspek lainnya yang juga harus diperhatikan polisi yang profesional. Aspek tersebut antara lain jumlah petugas, sarana dan prasarana, ketersediaan anggaran, penampilan petugas, dan lain-lain. Korban kejahatan sangat berharap polisi mampu menyediakan dan memperhatikan dimensi tangible tersebut.

Dimensi Responsiveness

Adalah keinginan dan kemauan untuk membantu. Yaitu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat. Dimensi ini menekankan pada perhatian dan kecekatan dalam merespon permintaan, pertanyaan, keluhan, dan permasalahan korban. Dimensi ini ditujukkan dengan lamanya waktu korban untuk menunggu dilayani, menjawab pertanyaan atau perhatian kepada masalah korban. agar unggul dalam dimensi ini maka harus ditingkatkan perhatian pada permintaan korban. Kesiap-siagan dan kecepatan dalam melayani serta ketepatan pelayanan yang diberikan merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam dimensi ini, bila polisi mau disebut profesional.

Contoh dari dimensi ini adalah kecepatan petugas dalam bertindak ketika korban melaporkan dirinya telah terviktimisasi. Polisi segera melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, menolong korban dengan membawa kerumah sakit dan mengunpulkan bukti-bukti dilapangan. Tidak perduli hasil akhir dari proses pencarian tersangkanya, bila respek dan ketanggapan polisi bagus dalam merespon korban maka profesionalisme polisi makin terlihat dimata korban.

Dimensi Assurance

Assurance yaitu kemampuan, keahlian, dan pengetahuan dalam bidang pelayanan yang diberikan. Dalam dimensi ini berarti petugas yang melayani harus bertindak berdasarkan kemampuan dan kompentensi bidangnya tersebut. Dimensi ini juga mempunyai ciri-ciri keahlian dalam memberikan pelayanan adalah mampu berkomunikasi dengan baik, berpengetahuan dan berkemampuan dibidangnya, berpengalaman, tenang, mampu menyimpan rahasia.

Dalam konteks tersebut maka polisi yang profesional selain berpengetahuan yang cukup juga harus mempunyai komitmen dan integritas. Dengan memperhatikan dimensi ini maka korban menjadi yakin dan percaya kepada polisi. Dimensi ini penting bagi polisi sebab semua korban yang datang melapor kepolisi adalah pihak yang sedang bingung dan butuh pihak yang dapat dipercaya. Karena itulah butuh polisi yang profesional yaitu polisi yang dapat memberikan assurance.

Dimensi Reliability

Reliability yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara nyata, terpercaya dan akurat. Dalam dimensi ini pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan yang dijanjikan oleh polisi baik dalam waktu maupun cara.

Janji tersebut tidah harus secara eksplisit diungkapkan kepada masyarakat secara langsung. Sosialisasi baik formal maupun informal yang dilakukan dan telah melembaga, mau tidak mau telah menjadi janji polisi kepada masyarakatnya. Masyarakat mengetahui bahwa polisi adalah penegak hukum, tempat meminta perlindungan bila masyarakat menjadi korban kejahatan. Karena itulah janji tersebut harus dapat dipenuhi.

Komitmen yang pernah disampaikan baik melaui media massa ataupun slogan-slogan polisi seagai pengayom masyarakat dan pelayan harus dapat dibuktikan. Pernyataan yang disampakaikan dapat ditepati dan dilakukan antara lain adalah janji tidak dipungut biaya sama sekali harus dapat dipenuhi bila polisi mau dikatakan profesional. Selain itu janji diperlakukan dengan adil, perlakuan yang sama dan sejajar tentunya akan menambah keyakinan bahwa polisi dapat diandalkan.

Dimensi Emphaty

Emphaty yaitu kepedulian yang ditunjukan polisi. Pemberian perhatian secara personal kepada korban, pemberian pelayanan yang sesuai dengan konteks korban masing-masing. Anggapan dasar dari dimensi ini adalah sertiap korban adalah unik dan spesial. Korban ingin dimengerti dan dianggap penting dalam proses pelayanan polisi. Dimensi ini dapat ditunjukan dengan polisi yang mudah dihubungi, memberikan ketentraman dan rasa aman, dan petugas selalu berusaha verstehen dalam memahami harapan korban. dengan dimensi ini, korban akan merasa dipahami, diperhatikan dan merasa terhormat.

Pada dimensi ini, profesionalisme polisi mengharuskannya untuk mampu memberikan penjelasan yang lengkap dan mudah dimengerti oleh korban atas segala tindakan yang akan dilakukan polisi. Selain itu, polisi harus menunjukan rasa empati dan ikut merasakan kesusahan korban. Hal ini bukan berarti polisi harus ikut bingung dan sedih tetapi polisi benar-benar memperhatikan masalah yang dialami korban. Bila perlu, polisi dapat bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang berkompeten untuk mendampingi korban. Contoh lain profesionalisme polisi dalam dimensi ini adalah dalam tatacara pemeriksaan. Terkadang polisi begitu semangatnya dalam memeriksa korban sehingga terjadi second victimisation. Kasus perkosaan adalah kasus dimana polisi sering menganut ediologi victim blamer. Ideologi yang cenderung berpegang pada asumsi bahwa korban turut bertanggung jawab atas viktimisasi yang terjadi harus dihilangkan. Ediologi tersebut benar-benar tidak sesuai dengan standart profesionalisme polisi.

Penutup

Perubahan sosial yang terjadi menciptakan suatu perubahan nilai-nilai masyarakat dalam melihat profesionalisme polisi. Polisi yang profesional tidak lagi hanya sekedar jujur, tangkas, keras dan tegas terhadap pelaku kejahatan. Masyarakat lebih membutuhkan polisi profesional yang memahaminya. Polisi profesional harus lebih mengerti dan memahami apa harapan harapan masyarakat akan pelayanan polisi. Salah satu bagian dari masyarakat yang paling membutuhkan pelayanan polisi adalah korban kejahatan. Harapan korban kejahatan berkaitan dengan hasil teknis dan prosesnya.

Harapan akan hasil teknis berupa tertangkapnya pelaku, yang merupakan sarana balas dendan dan pencegahan kejahatan baik bagi si pelaku ataupun orang lain. Kedua, korban juga berharap polisi merehabilitasi pelaku ataupun korban. harapan terakhir adalah kembalinya barang miliknya atau diberikannya ganti rugi atas kerugian yang dialaminya.

Sedangkan harapan yang berkaitan dengan proses dapat dikelompokan dalam berbagai dimensi yaitu tangibility, realibility, responsivness, assusrance, dan emphaty. Dalam konteks Polri maka pemenuhan harapan pada proses menjadi penting karena keterbatasan yang ada tidak memungkinkan Polri dapat memenuhi semua harapn akan hasil teknis.


sumber : http://akpol1995.blogspot.com/2009/01/harapan-masyarakat-pada-polisi.html

Manusia dan Kegelisahan

Kegelisahan Menjelang Lebaran

Banyak persoalan yang dihadapi masyarakat Riau sekarang dan kedepan, terutama terkait perilaku kinerja pejabat di Riau, yang bermuara ke pelayanan publik. Ini sebuah persoalan mendasar yang berakibat fatal kalau cepat-cepat masalah kinerja pejabat tidak segera dicarikan solusi.

Apa sebenarnya hakikat dari Perilaku itu? Perilaku adalah menyatunya antara sikap dan perbuatan. Sikap dalam pengertian ini bisa dikatakan sikap mental (mental attitude), yang mencerminkan menyatunya hati dan pikiran dan membentuk pola pikir yang positif. Perbuatan adalah acting/action yang datangnya sebagai akibat respon terhadap segala persoalan yang didorong oleh sikap mental. Sekarang tergantung sikap mentalnya. Kalau sikap mentalnya positif, pasti menghasilkan perbuatan (acting/action), yang positif artinya segala tindak tanduknya akan positif bagi orang-orang sekelilingnya. Apalagi kalau itu, seorang pejabat, yang perilakunya masih harus dibatasi dengan visi misi yang diembannya untuk mensejahterakan rakyatnya. Tentunya, perilakunya bakal relatif bermanfaat bagi kesejahteraan umat.

Tapi, kalau actingnya/perbuatan itu didasari sikap mental negatif (negative mental attitude), tentu segala perilakunya bakal menyusahkan rakyatnya. Korupsi, kolusi dan nepotisme itulah bagian dari kinerjanya sehari-hari.
Apakah pejabat disini memiliki perilaku yang berlandaskan positive mental attitude atau negative mental attitude? Tentu kita tidak bisa mengkategorikan hitam putih seperti itu, sebab sikap mental seseorang, bahkan pejabat itu relatif adanya. Namun, melihat persoalan yang melilit masyarakat di negeri makmur seperti Riau ini, yang kurang sejahtera, patutlah dipertanyakan, apakah mental pejabat disini sudah cuek, acuih babe?
Ada beberapa contoh disini, dan pembanding dengan daerah lain. Masalah harga sembako, yang mendera kehidupan rakyat disini, terlihat pejabat hanya diam, kurang melakukan action, hanya janji-janji melulu. Masak masyarakat sudah terjepit kenaikan sembako, pejabat masih sibuk berdebat. Birokrasilah yang dikedepankan, sehingga itu baru rencana dan baru rencana pulak, bahwa akan ada operasi pasar di Simpang Tiga menjelang puasa. Itu pun waktunya belum dipastikan? Di berita-berita sering digembar-gemborkan, tapi realisasinya......???
Simpul-simpul kemiskinan di Riau itu banyak, bahkan Ayat Cahyadi, Ketua Fraksi PKS menyebut kemiskinan banyak merambah bumi Riau pesisir. Apakah dengan hanya satu saja operasi pasar di Simpang Tiga mampu meringankan masyarakat dari jerat kemiskinan? Mana action pemda-pemda lainnya untuk melakukan operasi pasar menjelang Ramadhan di simpul-simpul kemiskinan itu.
Tidak terdengar, sunyi, sepi dari hiruk pikuk masyarakat miskin yang ingin menikmati indahnya Bulan Ramadhan dengan operasi pasar.

Coba kita tengok di Batam, Pemda telah membentuk Tim Pengendalian Harga, yang tugasnya menjinakkan harga-harga sembako agar tidak liar atau melambug. Tim ini dengan segala upayanya boleh dikatakan sudah action, tidak hanya operasi pasar. Tapi, tim sudah mencari sebab musabab dan solusinya bagaimana supaya harga tak bergejolak.
Sudah bersusaha menurunkan harga pun, masyarakat kurang puas hingga beberapa waktu lalu terjadi demo yang mendesak mundur Tim Pengendali Harga, yang dianggap gagal mengendalikan harga kebutuhan pokok.

Kiranya, kita bisa membandingkan apa yang sudah diperbuat pemda Batam untuk menurunkan harga-harga kebutuhan pokok, dan apa yang diperbuat pemda-pemda di Riau untuk melepas rakyatnya dari jeratan gejolaknya harga.

Melihat fakta-fakta selama ini, kita belum mendengar Disperindag membentuk tim khusus. Seandainya, ada tim, tapi fungsi tim itu tidak setajam di daerah lain. Karena namanya yang diambilnya tidak ada konotasi menuju ke goal; seperti contoh: Tim Pengendalian Harga (tugasnya mengendalikan harga agar tidak naik/harga-harga sembako terkendali), sehingga hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.
Apalagi lebaran sebentar lagi, tentu kebutuhan masyarakat untuk merayakan Idul Adha nanti meningkat, terutama sembako dan bahan pangan lainnya serta pakaian. Apakah masih akan terjadi pembiaran atas gejolak naiknya harga-harga kebutuhan masyarakat itu?
Tentu masyarakat masih berharap terhadap gubernur, walikota maupun bupati sebagai pemegang kebijakan bisa melihat kegelisahan rakyat kecil menghadapi lebaran mendatang. Semoga lebaran tahun ini menjadi momentum silaturahmi yang kuat antara pamong dan rakyatnya dalam meringankan beban kehidupan yang semakin hari semakin berat. Amin. ***

sumber : http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?option=com_content&view=article&id=10666:kegelisahan-rakyat-menghadapi-lebaran&catid=60:tajuk

Manusia dan Tanggung Jawab

PERS BEBAS dan TANGGUNG JAWAB WARTAWAN

SELAMA ini banyak orang — terutama kaum awam — yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.”

Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat. Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS.

Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression). Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya. Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, akal sehat.

Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Sekali lagi, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers itu sendiri, melainkan kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak. Namun, oleh karena publik tidak mungkin bisa mengakses informasi secara langsung – walaupun sebenarnya boleh, karena merupakan salah satu hak sipil – maka diperlukanlah pers. Yakni pers yang bebas. Bukan bebas dalam arti kata “semaunya sendiri” melainkan mebas mengakses informasi, beban meliput, bebas menulis dan menyatakan pendapat – dengan catatan harus bertanggung jawab. Dengan demikian, pers tiada lain adalah “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah” atau “pembawa amanah” dari hak-hak sipil atau hak-hak demokrasi. Oleh karena mengemban tugas luhur itulah, sekali lagi, pers harus bebas tapi bertanggung jawab.

Sejak semula, jati diri dan mission pers (yang ideal) sesungguhnya ialah sebagai alat bagi kepentingan orang banyak untuk melakukan social control terhadap kekuasaan secara bebas, terbuka, jujur, bertanggung jawab, sebagai watch dog alias anjing penjaga terhadap hal-hal yang dianggap menyeleweng dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Namun, lama kelamaan (sebagian) pers menjadi alat bagi kepentingan salah satu golongan. Negara dan partai politik menjadikannya sebagai alat propaganda, konglomerat menjadikannya sebagai alat untuk melindungi mega bisnisnya, organisasi keagamaan menjadikannya sebagai alat dakwah, lembaga pendidikan menjadikannya alat untuk mendidik, kalangan intertainment menjadikannya sebagai alat untuk menghibur. Semua itu dengan segment pasar masing-masing sesuai dengan lahan garapan masing-masing pula. Meski demikian, toh msih cukup banyak pers yang “benar-benar pers” (katakanlah pers umum) yang lazim disebut sebagai pers yang independen.

Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.

Sayang, belakangan pers sendiri kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.

Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.

Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk memperjuangkan idealisme (seperti halnya pers perjuangan atau pers di zaman liberal), melainkan semata-mata sebagai komoditi. Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme. Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi yang mengerti akan idealisme pers). Di sini sampailah kita pada persoalan media pers dewasa ini: tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda”. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang baik (tidak lagi cukup hanya mengandalkan idealisme!), termasuk trik-trik dalam hal sirkulasi, marketing (pemasaran) dan advertising (periklanan).

Jika kita mengidam-idamkan sebuah pers yang ideal, bagaimanakah seharusnya jati diri seorang wartawan? Meskipun wartawan boleh dikata merupakan profesi terbuka, wartawan yang baik ialah yang memahami perannya sebagaimana telah kita singgung di bagian awal makalah ini, bahwa dia adalah kepanjangan tangan atau penyambung lidah publik. Oleh karena ia mendapat amanat publik sehingga mendapat kesempatan untuk mengakses informasi secara bebas (dalam iklim pers bebas) maka ia harus bertanggung jawab kepada publik, kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, common sense, akal sehat. Ia harus benar-benar profesional, sedapat mungkin independen, memiliki integritas yang tinggi – dan jangan lupa: berpihak kepada mereka yang lemah.

Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).

Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking news sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature..

Kualitas kepribadian wartawan seperti itu berbanding terbalik dengan mereka yang lazim disebut sebagai “wartawan bodreks”, “wartawan amplop,” “wartawan gadungan”, “wartawan muntaber alias muncul tanpa berita”, WTS (wartawan tanpa surat kabar). Jenis “wartawan yang tersebut belakangan itu harus diwaspadai karena mereka bukanlah wartawan yang sebenarnya. Mereka sering minta uang (bahkan berani memeras) nara sumber. Tapi di lain pihak, inilah repotnya, juga ada nara sumber yang memberi “amplop” kepada wartawan – karena diminta, karena ingin agar namanya jangan dicemarkan, atau karena terbiasa menyogok dalam bisnis. Seharusnya wartawan (yang profesional dan memiliki integritas) merasa tersinggung manakala disodori “amplop”.

Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya aib yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (“pers kuning”) atau pers yang sensasional.

Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang pasti bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan media.


sumber : http://budimanshartoyo.wordpress.com/2008/01/19/pers-bebas-dan-tanggung-jawab-wartawan/

Manusia dan Pandangan Hidup

Pandangan Hidup Manusia

Suatu ketika seseorang yang sangat kaya mengajak anaknya mengunjungi sebuah kampung dengan tujuan utama memperlihatkan kepada anaknya betapa orang-orang bisa sangat miskin.
Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah pertanian yang sangat miskin. Sambil menceritakan bagaimana rahasia ayahnya dapat sesukses ini dan memiliki masa depan yang sangat lebih dari cukup.

Pada perjalanan pulang, sang Ayah bertanya kepada anaknya. “Bagaimana perjalanan kali ini?”
“Wah, sangat luar biasa Ayah”

“Kau lihatkan betapa manusia bisa sangat miskin” kata ayahnya.
“Oh iya” kata anaknya

“Jadi, pelajaran apa yang dapat kamu ambil?” tanya ayahnya.
Kemudian si anak menjawab.
“Saya saksikan bahwa :

Kita hanya punya satu anjing, mereka punya empat.
Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ketengah taman kita dan mereka memiliki telaga yang tidak ada batasnya.
Kita mengimpor lentera-lentera di taman kita dan mereka memiliki bintang-bintang pada malam hari.
Kita memiliki patio sampai ke halaman depan, dan mereka memiliki cakrawala secara utuh.
Kita memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal dan mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan kita.
Kita punya pelayan-pelayan untuk melayani kita, tapi mereka melayani sesamanya.
Kita membeli untuk makanan kita, mereka menumbuhkannya sendiri.
Kita mempunyai tembok untuk melindungi kekayaan kita dan mereka memiliki sahabat-sahabat untuk saling melindungi.”

Mendengar hal ini sang Ayah tak dapat berbicara.
Kemudian sang anak menambahkan “Terimakasih Ayah, telah menunjukkan kepada saya betapa miskinnya kita.”

Betapa seringnya kita melupakan apa yang kita miliki dan terus memikirkan apa yang tidak kita punya.
Apa yang dianggap tidak berharga oleh seseorang ternyata merupakan dambaan bagi orang lain.
Semua ini berdasarkan kepada cara pandang seseorang. Bagaimana kita menyikapi hidup ini karena hidup ini menyimpan banyak sekali rahasia masa depan yang terpendam. Misteri itu masih menunggu untuk digali menggunakan potensi yang ada dalam diri kita.


sumber : http://umum.kompasiana.com/2009/06/01/kisah-pandangan-hidup-manusia/

Manusia dan Adil

Keadilan bagi Masyarakat Kecil Sangat Memprihatinkan

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengaku sangat prihatin dengan sejumlah peristiwa hukum yang belakangan menurutnya telah dan sering menyinggung rasa keadilan masyarakat.

Hal itu terutama terjadi ketika aparat penegak hukum berhadapan dengan para pelanggar hukum dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Hukum seolah diterapkan dan diterjemahkan serta-merta seperti tertulis.

Sementara itu, kepada para pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun terkait aksesnya terhadap kekuasaan, aparat penegak hukum tidak melakukan hal serupa dan bahkan mengatur sedemikian rupa agar hukum bisa lebih menguntungkan bagi para pelanggar jenis itu.

Keprihatinan itu dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Minggu (14/2/2010), saat hadir dan menjadi pembicara utama dalam pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII).

Dia lebih lanjut mendesak para aparat penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum atau memutus suatu perkara. Hukum kita saat ini memang tengah mengalami persoalan besar, terutama ketika aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal kepada orang-orang kecil yang berurusan dengan hukum.

"Jadi seorang nenek yang dilaporkan mencuri tiga buah kakao bisa langsung ditangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan," ujar Mahfud.

Namun sayangnya, jika pelaku berasal dari orang mampu atau memiliki akses ke kekuasaan, maka unsur-unsur dalam aturan undang-undang disamarkan atau dicari-cari aturan yang seakan-akan membenarkan perbuatan kriminal tadi.

Akibatnya terjadilah banyak kasus yang dinilai sangat memprihatinkan seperti ketika seorang pengendara motor ditangkap dan diadili karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian istrinya, sementara mereka sendiri adalah korban peristiwa kecelakaan atau tabrak lari atau sejumlah peristiwa lain yang intinya sangat melukai rasa keadilan masyarakat.

"Rasa keadilan masyarakat menjadi sangat terluka, apalagi melihat kasus-kasus besar yang jelas-jelas pelakunya ada dan keuangan negara dibobol, tetapi malah para penegak hukum sibuk bicara soal unsur-unsur hukum formal yang katanya belum terpenuhi sehingga kasus-kasus besar itu tidak kunjung selesai," ungkap Mahfud.

Dia lebih lanjut menambahkan, di MK, pihaknya beserta para hakim konstitusi lain mencoba menerapkan prinsip keadilan substantif yang didasari pada bisikan hati nurani dan disesuaikan dengan fakta di lapangan.

Dengan begitu mereka berani, bahkan untuk melanggar aturan UU, jika hal itu diperlukan untuk memperoleh kebenaran substantif. Mahfud menambahkan, hakim dan penegak hukum dapat menerapkan itu semua hanya jika mereka berani dan mampu melepaskan diri dari bunyi aturan atau pasal formal yang ada.

Mereka harus berani bertanya ke hati nurani mereka sendiri mengingat hal itulah yang menjadi sumber dari keadilan hukum. "Sekarang hukum telah lepas dari akarnya itu," ujar Mahfud.

Lebih lanjut, Mahfud menegaskan bahwa langkah perbaikan secara signifikan seperti itu hanya bisa dilakukan dan dimulai dengan terlebih dahulu didukung oleh seorang figur yang memiliki kepemimpinan yang kuat, dalam hal ini Presiden.

Menurut Mahfud, tidak boleh lagi seorang presiden melempar tanggung jawab saat terjadi satu peristiwa dengan berdalih menyerahkan penanganan perkara hukum sepenuhnya kepada aparat penegak hukum bawahannya.

"Presiden enggak boleh lagi bilang tidak mau ikut campur dalam penegakan hukum lantas mempersilakan aparat bawahannya bekerja tanpa diintervensi. Menurut saya, kepemimpinan nasional juga harus ikut bertanggung jawab atas upaya penegakan hukum. Intervensi tidak masalah. Saat Presiden Yudhoyono turut campur dalam kasus Cicak dan Buaya, masyarakat justru mendukung," ujar Mahfud.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/02/14/15254518/Keadilan.bagi.Masyarakat.Kecil.Sangat.Memprihatinkan

Manusia dan Penderitaan

Ini cerita pedih tentang dua ibu miskin di Ibu Kota. Yang satu
Lailasari dan satu lagi Maria Letsoin. Keduanya mengalami kesulitan
dengan rumah sakit karena statusnya sebagai orang miskin.

Laila dan suaminya, Hussein, bergelut dengan waktu yang semakin
tipis untuk menyelamatkan bayi mereka yang lahir prematur dan harus
dirawat dalam inkubator. Dalam satu hari, dua pasangan muda ini
ditolak enam rumah sakit karena tidak memiliki cukup uang untuk
merawat anaknya yang sedang sekarat. Baru pada rumah sakit ketujuh,
Rumah Sakit Harapan Bunda di Jakarta Timur, anak mereka, Zulfikri,
diterima untuk dirawat.

Penderitaan serupa dialami Maria Letsoin. Bayinya yang berusia tiga
bulan ditinggalkan selama tiga minggu di Rumah Sakit Umum Daerah
Koja, Jakarta Utara, karena dia dan suaminya tidak memiliki uang
untuk membayar ongkos perawatan.


Untuk mengobati rasa rindu terhadap bayinya yang menderita penyakit
kuning, Maria harus menyamar di antara para pengunjung pada jam
besuk. Penyamaran dilakukan untuk menghindari petugas rumah sakit
menagih ongkos perawatan yang membengkak dari hari ke hari. Dia
selama tiga minggu hanya melepas rindu dari balik ruang kaca.

Bila Laila mengalami penderitaan karena ditolak enam rumah sakit,
Maria kesulitan karena tidak mengerti mengurus surat jaminan rawat
bagi orang miskin dari Dinas Kesehatan DKI.

Laila dan Maria adalah contoh betapa mahalnya pelayanan bagi orang-
orang miskin. Rumah sakit, tempat orang-orang menggantungkan
nyawanya, pun tidak ramah terhadap kaum miskin. Padahal kita ketahui
rumah sakit mendahulukan penyelamatan nyawa daripada uang.

Perlakukan rumah sakit terhadap orang miskin paralel dengan
perlakuan negara terhadap kaum papa. Perang terhadap kemiskinan di
negeri ini adalah pergumulan angka-angka tentang indeks biaya hidup
dan pendapatan. Negara hanya rajin mengajarkan tentang penghapusan
orang miskin dengan teori pendapatan dan angka.

Kita jarang diajarkan dan disadarkan bahwa kemiskinan bisa diperangi
melalui kepedulian. Penderitaan seorang Laila dan Maria bisa diatasi
dengan kepedulian sesama tanpa harus memberi keduanya uang. Tetapi
dalam masyarakat kita, yang namanya kepedulian telah mati.

Komersialisasi telah merasuk di mana-mana dan terhadap siapa saja.
Orang miskin tidak mendapat tempat pelayanan karena tidak mampu
membayar, sedangkan orang kaya harus membayar mahal untuk memperoleh
pelayanan. Hampir tidak ada lagi hubungan sosial yang tidak diukur
dengan uang.

Negara telah melalaikan tugasnya melindungi dan memanusiakan orang
miskin. Di negara-negara yang maju demokrasinya, orang miskin dan
tidak mampu menjadi tanggungan negara. Negara yang tidak mampu
mengurus mayoritas rakyatnya yang miskin tidak akan mampu juga
mengurus orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit.

Sumber: Media Indonesia - Selasa, 02 Agustus 2005