Ini cerita pedih tentang dua ibu miskin di Ibu Kota. Yang satu
Lailasari dan satu lagi Maria Letsoin. Keduanya mengalami kesulitan
dengan rumah sakit karena statusnya sebagai orang miskin.
Laila dan suaminya, Hussein, bergelut dengan waktu yang semakin
tipis untuk menyelamatkan bayi mereka yang lahir prematur dan harus
dirawat dalam inkubator. Dalam satu hari, dua pasangan muda ini
ditolak enam rumah sakit karena tidak memiliki cukup uang untuk
merawat anaknya yang sedang sekarat. Baru pada rumah sakit ketujuh,
Rumah Sakit Harapan Bunda di Jakarta Timur, anak mereka, Zulfikri,
diterima untuk dirawat.
Penderitaan serupa dialami Maria Letsoin. Bayinya yang berusia tiga
bulan ditinggalkan selama tiga minggu di Rumah Sakit Umum Daerah
Koja, Jakarta Utara, karena dia dan suaminya tidak memiliki uang
untuk membayar ongkos perawatan.
Untuk mengobati rasa rindu terhadap bayinya yang menderita penyakit
kuning, Maria harus menyamar di antara para pengunjung pada jam
besuk. Penyamaran dilakukan untuk menghindari petugas rumah sakit
menagih ongkos perawatan yang membengkak dari hari ke hari. Dia
selama tiga minggu hanya melepas rindu dari balik ruang kaca.
Bila Laila mengalami penderitaan karena ditolak enam rumah sakit,
Maria kesulitan karena tidak mengerti mengurus surat jaminan rawat
bagi orang miskin dari Dinas Kesehatan DKI.
Laila dan Maria adalah contoh betapa mahalnya pelayanan bagi orang-
orang miskin. Rumah sakit, tempat orang-orang menggantungkan
nyawanya, pun tidak ramah terhadap kaum miskin. Padahal kita ketahui
rumah sakit mendahulukan penyelamatan nyawa daripada uang.
Perlakukan rumah sakit terhadap orang miskin paralel dengan
perlakuan negara terhadap kaum papa. Perang terhadap kemiskinan di
negeri ini adalah pergumulan angka-angka tentang indeks biaya hidup
dan pendapatan. Negara hanya rajin mengajarkan tentang penghapusan
orang miskin dengan teori pendapatan dan angka.
Kita jarang diajarkan dan disadarkan bahwa kemiskinan bisa diperangi
melalui kepedulian. Penderitaan seorang Laila dan Maria bisa diatasi
dengan kepedulian sesama tanpa harus memberi keduanya uang. Tetapi
dalam masyarakat kita, yang namanya kepedulian telah mati.
Komersialisasi telah merasuk di mana-mana dan terhadap siapa saja.
Orang miskin tidak mendapat tempat pelayanan karena tidak mampu
membayar, sedangkan orang kaya harus membayar mahal untuk memperoleh
pelayanan. Hampir tidak ada lagi hubungan sosial yang tidak diukur
dengan uang.
Negara telah melalaikan tugasnya melindungi dan memanusiakan orang
miskin. Di negara-negara yang maju demokrasinya, orang miskin dan
tidak mampu menjadi tanggungan negara. Negara yang tidak mampu
mengurus mayoritas rakyatnya yang miskin tidak akan mampu juga
mengurus orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit.
Sumber: Media Indonesia - Selasa, 02 Agustus 2005
Lailasari dan satu lagi Maria Letsoin. Keduanya mengalami kesulitan
dengan rumah sakit karena statusnya sebagai orang miskin.
Laila dan suaminya, Hussein, bergelut dengan waktu yang semakin
tipis untuk menyelamatkan bayi mereka yang lahir prematur dan harus
dirawat dalam inkubator. Dalam satu hari, dua pasangan muda ini
ditolak enam rumah sakit karena tidak memiliki cukup uang untuk
merawat anaknya yang sedang sekarat. Baru pada rumah sakit ketujuh,
Rumah Sakit Harapan Bunda di Jakarta Timur, anak mereka, Zulfikri,
diterima untuk dirawat.
Penderitaan serupa dialami Maria Letsoin. Bayinya yang berusia tiga
bulan ditinggalkan selama tiga minggu di Rumah Sakit Umum Daerah
Koja, Jakarta Utara, karena dia dan suaminya tidak memiliki uang
untuk membayar ongkos perawatan.
Untuk mengobati rasa rindu terhadap bayinya yang menderita penyakit
kuning, Maria harus menyamar di antara para pengunjung pada jam
besuk. Penyamaran dilakukan untuk menghindari petugas rumah sakit
menagih ongkos perawatan yang membengkak dari hari ke hari. Dia
selama tiga minggu hanya melepas rindu dari balik ruang kaca.
Bila Laila mengalami penderitaan karena ditolak enam rumah sakit,
Maria kesulitan karena tidak mengerti mengurus surat jaminan rawat
bagi orang miskin dari Dinas Kesehatan DKI.
Laila dan Maria adalah contoh betapa mahalnya pelayanan bagi orang-
orang miskin. Rumah sakit, tempat orang-orang menggantungkan
nyawanya, pun tidak ramah terhadap kaum miskin. Padahal kita ketahui
rumah sakit mendahulukan penyelamatan nyawa daripada uang.
Perlakukan rumah sakit terhadap orang miskin paralel dengan
perlakuan negara terhadap kaum papa. Perang terhadap kemiskinan di
negeri ini adalah pergumulan angka-angka tentang indeks biaya hidup
dan pendapatan. Negara hanya rajin mengajarkan tentang penghapusan
orang miskin dengan teori pendapatan dan angka.
Kita jarang diajarkan dan disadarkan bahwa kemiskinan bisa diperangi
melalui kepedulian. Penderitaan seorang Laila dan Maria bisa diatasi
dengan kepedulian sesama tanpa harus memberi keduanya uang. Tetapi
dalam masyarakat kita, yang namanya kepedulian telah mati.
Komersialisasi telah merasuk di mana-mana dan terhadap siapa saja.
Orang miskin tidak mendapat tempat pelayanan karena tidak mampu
membayar, sedangkan orang kaya harus membayar mahal untuk memperoleh
pelayanan. Hampir tidak ada lagi hubungan sosial yang tidak diukur
dengan uang.
Negara telah melalaikan tugasnya melindungi dan memanusiakan orang
miskin. Di negara-negara yang maju demokrasinya, orang miskin dan
tidak mampu menjadi tanggungan negara. Negara yang tidak mampu
mengurus mayoritas rakyatnya yang miskin tidak akan mampu juga
mengurus orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit.
Sumber: Media Indonesia - Selasa, 02 Agustus 2005
0 komentar:
Posting Komentar